Minggu, 11 April 2010

Aspek Hukum Terhadap Pembajakan VCD dan Hak Cipta di Indonesia

Intellectual property Rights atau Hak atas Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HaKI) memang berperan penting dalam kehidupan dunia modern dimana didalamnya terkandung aspek hukum yang berkaitan erat dengan aspek teknologi, aspek ekonomi, maupun seni budaya. Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya dsingkat HaKI) adalah sistem hukum yang melekat pada tata kehidupan modern. Sebagai salah satu aspek yang memberi warna pada kehidupan modern, HaKI merupakan konsep yang relatif baru bagi sebagian negara, terutama negara-negara berkembang. Semuanya berkaitan erat dengan kekayaan yang timbul atau lahir karena adanya intelektualitas seseorang baik melalui daya cipta, rasa maupun karsanya. Karya-karya yang dihasilkan manusia melalui intelektualitanya itu perlu mendapat perlindungan hukum, karena karya manusia ini telah dihasilkan dengan suatu pengorbanan tenaga, pikiran waktu bahkan biaya yang tidak sedikit serta pengetahuan dan semua bentuk idealisme lainnya bersatu untuk mendapatkan hasil karya terbaik dibidangnya.
Apalagi karya intelektual dalam konteks HaKI memerlukan biaya yang besar untuk melakukan riset atau penelitian yang bertujuan mencapai penemuan-penemuan baru (new inventions). Oleh karena itu, modal merupakan unsur yang sangat penting sehingga para pemilik modal merasa bahwa kepentingannya harus dilindungi. Tidak ada riset yang tujuan mencapai new invention yang tidak memerlukan biaya besar, oleh karenanya HaKI tidak dapat dilepaskan dari kepentingan pemilik modal. Dalam upaya untuk melindungi Hak atas Kekayaan Intelektual ini Pemerintah Indonesia sejak tahun 1982 telah mengeluarkan Undang-Undang tentang hak cipta yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 yang telah mengalami dua kali revisi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, kesemuanya ini adalah untuk melindungi karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra (scientific, literary and artistic works).
Meskipun telah mempunyai Undang-undang UU No.19/2002 tentang Hak Cipta (berapa kali direvisi) dan pemberlakuannya tentang hak cipta pun telah diberlakukan efektif sejak 29 Juli 2003, semestinya mampu membuat para pembajak jera, namun pada kenyataannya pelanggaran terhadap HaKI masih saja terjadi bahkan cenderung ke arah yang semakin memprihatinkan. Salah satu dari bentuk pelanggaran itu adalah pembajakan VCD. Banyak VCD palsu yang ada di kalangan masyarakat justru filmnya belum diputar di studio secara resmi. Begitu tingginya peredaran VCD bajakan, bahkan telah sampai ke pelosok pedesaan. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan, mengingat bangsa Indonesia adalah salah satu penandatanganan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yaitu perjanjian Hak-Hak milik Intelektual berkaitan dengan perdagangan dalam Badan Perdagangan Dunia (WTO) yang harus tunduk pada perjanjian internasional itu.
Kendala utama yang dihadapi bangsa Indonesia dalam upaya perlindungan Hak akan Kekayaan Intelektual ini adalah masalah penegakan hukum, di samping masalah-masalah lain seperti kesadaran masyarakat terhadap HaKI itu sendiri dan keadaan ekonomi bangsa yang secara tidak langsung turut menyumbang bagi terjadinya pelanggaran itu. Akibat dari maraknya pembajakan VCD ini. Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, baik dari dunia Internasional maupun pada masyarakat Indonesia sendiri. Pengenaan sanksi oleh masyarakat Internasional merupakan suatu kemungkinan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Sementara pengaruh dari VCD bajakan terhadap masyarakat juga sangat luas, seperti rusaknya moral masyarakat sebagai akibat dari tidak adanya sensor bagi VCD bajakan itu serta menurunnya kreativitas dari para pelaku di bidang musik dan film nasional.
Pertanyaan, bagaimana aspek Hukum terhadap pembajakan VCD dan Hak Cipta di Indonesia, bagaimana peraturan perundang-undangan menegnai hak cipta di Indonesia, bagaimana dampaknya dari pembajakan VCD tersebut, bagaimana mengenai penegakan hukum-nya. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Hak Cipta Di Indonesia Hak cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari bunyi pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, mengandung banyak unsur yang terkandung didalamnya baik bagi berhubungan dengan pencipta, penerima, karya ciptanya dan pengertian semata-mata diperlukan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya.
Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh Undang-undang. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut masih perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas. Dengan telah ditandatangani Persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) dan diratifikasinya konvensi-konvensi internasional dibidang hak cipta oleh pemerintah Indonesia, maka Indonesia memiliki komitmen untuk memberlakukan dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam TRIPs maupun konvensi-konvensi di bidang hak cipta.
Adapun persetujuan TRIPs mengindetifikasikan instrumen-instrumen Hak dan Kekayaan Intelektual (HaKI) dan mencoba mengaharmonisasikannya pada tingkat global menyangkut komponen: Hak Cipta (copy rights), Merk Dagang (Trademarks), Paten (Patent), Disain produk industri (industrial design), Indikasi geografi (geographical indication), disain tata letak (topography), sirkuit terpadu atau layout disain (topography of integrated circuits), dan perlindungan informasi yang dirahasiakan (protection of undisclosed information). HaKI merupakan bagian hukum yang berkaitan dengan perlindungan usaha-usaha kreatif dan investasi ekonomi dalam usaha kreatif. Berdasarkan Trade Related Aspect Of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang merupakan perjanjian Hak-Hak Milik Intelektual berkaitan dengan perdagangan dalam Badan Perdagangan Dunia (WTO), HKI ini meliputi copyrights (hak cipta), dan industrial property (paten, merek desin industri, perlindungan integrated circuits, rahasia dagang dan indikasigeografis asal barang). Diantara hak-hak tersebut, hak cipta yang semula bernama hak pengarang (author rights) terbilang tua usianya. Pada pokoknya hak cipta bertujuan untuk melindungi karya kreatif yang dihasilkan oleh penulis, seniman, pengarang dan pemain musik, pengarang sandiwara, serta pembuat film dan piranti lunak (software).
Pengaturan hak cipta di Indonesia berpedoman pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1982 tentang Hak Cipta . Mengingat Indonesia telah menjadi anggota WTO, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan ketentuan TRIPs dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Oleh karena itu, UU No. 7 Tahun 1987 dan UU No. 12 Tahun 1997 kemudian diganti dengan Undang-undang yang baru Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sedangkan peraturan pemerintah yang mengatur hak cipta adalah Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta. Dewan Hak Cipta seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang terdiri atas wakil pemerintah, wakil organisasi profesi dan anggota masyarakat yang berkompetensi di bidang hak cipta berperan dalam memberikan penyuluhan dan pembimbing serta pembinaan hak cipta.
Secara otomatis hak cipta timbul ketika suatu karya cipta dilahirkan oleh seorang pencipta. Karena itu pendaftaran suatu ciptaan tidaklah mutlak, karena tanpa pendaftaran pun hak cipta seseorang tetap dilindungi. Hanya, bila tidak didaftarkan, pembuktian hak ciptanya akan sukar dan memakan waktu. Bila ciptaan didaftarkan maka orang yang mendaftarkan dianggap sebagai penciptanya sampai dapat dibuktikan di muka pengadilan bahwa si pendaftar bukan penciptanya. Pendaftaran suatu ciptaan diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman CD Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek, dan diumumkan dalam suatu daftar umum ciptaan yang dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dipungut biaya.
Hak cipta merupakan hak khusus bagi pencipta atau penerima hak, untuk a) mengumumkan atau b). memperbanyak ciptaannya, atau c). memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hanya pencipta saja yang mempunyai hak khusus (exclusive right) yang dilindungi Undang-undang yang dapat mengumumkan ciptaannya, untuk memperbanyak ciptaannya dan untuk memberi izin mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaannya tersebut, seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal, ini berarti bahwa hak cipta dapat diwariskan kepada ahli warisnya seperti yang tertera dalam Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: “ Hak cipta yang dimiliki oleh pencipta, yang setelah penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan hak cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum”. Beralih atau dialihkannya hak cipta tidak dapat dilakukan secara lisan tetapi harus dilakukan secara tertulis baik dengan akta Notaris maupun tidak dengan akta Notaris. Atas sebuah ciptaan karya dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan akan melekat dua macam hak yaitu Hak Ekonomi (economic rights) dan Hak Moral (moral rights). Jadi, seandainya hak cipta ini beralih atau dialihkan kepada pihak ketiga oleh si pencipta, pada dasarnya yang beralih hanyalah hak ekonominya saja, sedangkan hak moralnya tetap melekat pada diri pencipta.
Artinya, atas ciptaannya tersebut pencipta tetap berhak untuk dicantumkan namanya sebagai pencipta dan tidak boleh pihak ketiga mengubah ciptaan si pencipta sebagaimana aslinya tanpa izin.
Dan orang lain yang melakukan tindakan yang merupakan hak khusus pencipta, baik hak ekonomi maupun hak moral, tanpa izin atau tanpa hak dianggap telah melakukan pelanggaran atas hak cipta. Pelanggaran hak cipta sebagaimana pula diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) Persetujuan TRIPs mengharuskan pelaku diberikan hak untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya, melakukan perbuatan-perbuatan seperti membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan atau gambar pertunjukannya, dan melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau mengkomunikasikan kepada masyarakat pertunjukan langsung mereka. Yang dimaksud dengan pelanggaran yang dilarang dalam hal ini adalah apabila perbuatan pelanggaran itu dapat merugikan pencipta dari segi ekonomis, merugikan kepentingan negara karena mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan atau bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Melanggar perjanjian berarti pelanggaran berupa perbuatan yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara pihak ketiga dengan pencipta.

Dampak Dari Pembajakan VCD
Indonesia dicap sebagai sorganya bagi para pembajak. Sebagaimana Business Software Alliance (BSA) mengungkapkan dalam surveinya, untuk urusan bajak-membajak, bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga, di bawah Cina dan Vietnam. Kaget, Begitulah realitasnya. Citra bangsa ini di mata internasional selalu mendapat stempel negatif. Tidak hanya permasalahan HAM dan lingkungan hidup.
Yang dimaksudkan barang bajakan di sini adalah kaset, buku, CD, VCD, DVD, hingga piranti lunak. Barang-barang tersebut marak beredar di pasaran.
Masyarakat pun dengan mudah mendapatkan. Dari sebatas lapak, hingga di mall barang bajakan berjejeran dengan harga lebih murah dari barang orisinal. Akibat peringkat pembajakan yang cukup tinggi itulah, peredaran barang bajakan Indonesia menjadi prioritas US Trade Representative (USTR). USTR sendiri merupakan badan negosiasi perdagangan sekaligus berfungsi sebagai penasihat kebijakan perdagangan untuk Presiden AS. Berdasarkan laporan berkalanya bertajuk ”Special 301 Decisions On Intellectual Property” yang menghasilkan estimasi kerugian akibat pembajakan hak cipta selama 2002 ternyata cukup mencengangkan.
Tingkat pembajakan film, rekaman musik, aplikasi piranti lunak bisnis, dan entertainment dan buku mencapai 259,9 juta dolar AS. Amerika Serikat (AS) tentunya tidak berdiam diri, yakni negara itu menyampaikan nada protes, kecaman, kalau perlu dengan ancaman. Hal ini tidaklah main-main. Ukraina contohnya. Negara kecil-sempalan Rusia ini dianggap tidak serius dalam persoalaan pembajakan. Akibatnya, ukraina pun dikenai embargo ekonomi AS.
Bagaimana dengan Indonesia, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Depkeh Abdul Bari Azed tidak menampik, bisa saja Indonesia dikenakan sanksi serupa. Namun, pemerintah tentunya tidak tinggal diam. Hal ini tidak hanya menyangkut kerugian finansial. Kredibilitas negara (lagi-lagi) yang dipertaruhkan. Pemerintah berupaya keras mensosialisasikan kepada masyarakat luas tentang fenomena pembajakan itu dan negara akan mengganjar hukuman baik kepada para pengganda, pengedar hingga pengguna tanpa izin dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara dan denda Rp 5 milyar. Namun tidak semudah itu, bagi pemerintah, upaya pemberatannya ibarat menegakkan benang basah. sebab, selain karena kepiawaian produsen barang bajakan dalam soal “mencuri”, konsumen Indonesia pun menyukai barang-barang ini karena harganya yang relatif lebih murah daripada barang aslinya.
Pelanggaran Hak Cipta dalam bentuk pembajakan VCD di Indonesia sudah pada kondisi yang sangat parah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sering ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) mengeluh akan banyaknya kaset bajakan yang berisi lagu-lagu yang sedang menjadi hits di Indonesia maupun dunia beredar dengan luasnya, tanpa adanya pembayaran royalty. Bahkan menurut Arnel Affandi, GM ASIRI mengemukakan data-data hasil survei yang dilakukan oleh pihaknya, menunjukkan enam tahun yang lalu pada tahun 2000 kalangan industri musik mengalami kerugian Rp. 5,96 triliun, sedangkan pemerintah mengalami kerugian sebesar Rp. 545, 5 milyar. Pada tahun 2000 saja jumlah kaset Indonesia bajakan sekitar 200 juta copy dan untuk kaset asing mencapai 500 juta copy. Sedangkan CD atau VCD lagu Indonesia bajakan besarnya mencapai 3 juta copy dan CD atau VCD lagu asing beredar mencapai 120 juta copy. Dengan masih maraknya pemalsuan, pencurian, pembajakan, dan pelanggaran terhadap Hak Cipta, maka para pelakunya harus ditindak tegas.
Indonesia sebagai salah satu negara penandatanganan perjanjian TRIPs mau tidak mau harus ikut menegakkan hukum di bidang HKI secara Sungguh-sungguh. Mengingat pembajakan VCD dari luar Indonesia, hal ini akan menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia sendiri. Hal ini jika dibiarkan berlarut-larut akan mempunyai dampak negatif yang membawa citra buruk Indonesia di dunia internasional. Sebagai pengalaman bagi kita semua saat bangsa Indonesia keluar dari Konvensi Bern tahun 1958 hal ini berdampak terkucilnya bangsa kita dari pergaulan internasional. Dampak langsung yang akan dirasakan bila masalah pembajakan VCD ini tetap saja berlangsung sementara penanganan hukum dari pemerintah tidak dilakukan secara serius, tidak mustahil bangsa Indonesia akan rugi dikenakan berbagai sanksi oleh masyarakat internasional.
Ambil contoh saja setahun lalu, Indonesia ditempatkan dalam tingkat pengawasan khusus berdasarkan hasil evaluasi United State Trade Representative (USTR) terhadap 52 negara mitra dagang AS di seluruh dunia. Dari hasil evaluasi itu diketahui banyak kemajuan yang dilakukan oleh negara mitra dagang AS berkaitan dengan penegakan hukum dan perlindungan terhadap HaKI. Dari hasil evaluasi itu, Indonesia bersama 13 negara lainnya masuk dalam level pengawasan khusus, 36 negara lainnya masuk dalam peringkat watch list, sedangkan satu negara Ukrania masuk dalam priority foreign country. Dengan posisi itu, berarti Indonesia sudah empat tahun berturut-turut bercokol dalam posisi priority watch list. Daftar negara masuk pengawasan khusus AS adalah: Argentina, Brasil, China, Mesir, India, Indonesia, Israel, Kuwait, Lebanon, Pakistan, Filipina, Rusia, Turki. Venezuela (Sumber: USTR).
Adapun AS sebenarnya sudah mengakui banyak kemajuan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dalam memperkuat perlindungan atas HaKI seperti terbitnya peraturan pemerintah tentang optical disc, yang mengatur soal produksi dan pengawasan terhadap VCD, DVD, CD, CD-ROM dan lain-lain. Peraturan itu baru diberlakukan pada pertengahan April 2005. Namun, AS mencatat masih terjadi pelanggaran serius di bidang merek dagang dan penyimpangan dalam sistem peradilan berkaitan putusan perkara HaKI. Negara Paman Sam itu kurang puas dengan putusan hakim yang tidak menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelanggar sesuai Undang Undang Hak Cipta. Penempatan negara mitra dagang AS dalam priority watch list, watch list dan priority foreign country mengindikasikan bahwa masih terdapat hal khusus di negara yang bersangkutan dengan masalah perlindungan, penegakan hukum HaKI atau akses pasar.
Secara internasional, jika keadaan seperti ini terus berlanjut, bangsa Indonesia sendiri pun akan mendapat kerugian. Demikian pula secara nasional, dalam hitungan jangka pendek, adanya VCD bajakan dengan harga murah memang menguntungkan bagi masyarakat kebanyakan. Namun untuk jangka panjang akan timbul berbagai kerugian. Dengan VCD bajakan yang demikian mudah diperoleh diperkirakan akan menurunkan moral karena banyaknya adegan panas yang tidak disensor, terlebih saat ini VCD porno sudah begitu bebas diperdagangkan di pinggir jalan. Kerugian lainnya adalah pada perkebangan industri musik dan film nasional.
Kalangan artis, sutradara, produser dan pihak lain yang terkait dalam industri ini akan enggan untuk berkarya secara optimal karena pembajakan karya mereka telah mengurangi nilai pembayaran yang seharusnya mereka peroleh. Akibatnya para insan musik dan film dalam berkarya tidak menghasilkan karya-karya yang baik dan terkesan asal jadi saja, sehingga dunia film dan musik di tanah airakan semakin terpuruk.

Penegakan Hukum HKI Di Indonesia
Kejahatan dalam bidang Hak dan Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan kejahatan yang terus berlangsung di negeri ini. Berbagai macam produk menjadi sasaran empuk. Hal ini terlihat dari luasnya peredaran VCD illegal serta berbagai pemalsuan barang-barang konsumen (consumers goods) dan aksesoris seperti pakaian, sepatu, parfum, jam tangan dan lain sebagainya. Kejahatan itu bukan saja semakin marak, tetapi kian canggih karena para pemalsu menggunakan teknologi modern yang mempermudah kegiatan ilegalnya. Sangat penting melihat latar belakang dan alasan terjadinya pemalsuan dan pembajakan itu.
Disinyalir ada sejumlah perusahaan yang mengimpor produk palsu dengan menggunakan merek terkenal luar negeri. Juga diduga pelaku pembajakan VCD, CD, dan DVD bukan lagi individu. Sudah berupa perusahaan dengan omset pemasaran yang sangat besar dan jaringan sangat luas. Di samping itu ada kecenderungan masyarakat saat ini membeli produk dengan merek terkenal yang bukan asli. Alasannya harganya yang sangat murah dibanding produk aslinya, DVD bajakan diburu oleh pencinta film karena lebih cepat menghadirkan film-film atau album musik terbaru.
Film-film yang belum diputar di bioskop pun sudah bisa dibeli di Mangga Dua. Adapun soal kualitas gambar dan suara, memang kadang untung-untungan. Tetapi sekarang banyak CD dan VCD bajakan yang mempunyai kualitas gambar dan suara lumayan baik. Soal suara bahkan bisa diakali dengan menggunakan piranti sistem tata suara yang baik. Lebih detailnya, berikut petikan mengenai komentar dari masyarakat konsumen menggunakan produk bajakan tersebut : “Selama barang bajakan ada dan harganya jauh lebih murah, ya kami mencari DVD bajakan saja. Toh, gambar dan suaranya tidak jauh berbeda kualitasnya,” kata seorang pembeli DVD bajakan yang mengaku hampir setiap minggu memburu DVD bajakan yang baru, tanpa rasa bersalah.
Sementara itu, CD piranti lunak komputer bajakan masih bebas diperdagangkan di toko-toko resmi. Piranti lunak dijual dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per keping. Mulai dari Encarta Encyclopedia 2004, pelajaran bahasa asing, sampai program komputer paling mutakhir. Seorang karyawan toko piranti lunak bajakan tidak yakin pemerintah akan berhasil membersihkan pusat perbelanjaan dari barang bajakan. “Biasanya sih cuma ’hangat-hangat tai ayam’. Awalnya bersemangat, setelah itu loyo. Lha, siapa yang mau membeli software asli yang harganya jutaan rupiah, apalagi kalau setiap tahun berubah?” katanya. Masyarakat lebih memilih merek asing dengan harga murah tanpa memikirkan kualitas produk dan kerugian ekonomis jangka panjang sebgai konsekuensinya. Kelompok generasi muda merupakan korban terbesar dari konsumen tertipu. Walaupun mereka sadar, bahwa produk yang mereka beli bukan asli. Hal ini kemungkinan besar karena apresiasi masyarakat terhadap HaKI masih rendah.
Dengan banyaknya hasil karya yang dibajak dan besarnya kerugian yang telah diderita baik oleh pencipta, industri (pengusaha) maupun pemerintah, kita melihat ada sesuatu yang tidak berjalan dalam system perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual kita. Sistem HaKI merupakan kombinasi peran antara penemu atau pencipta (inventor), pengusaha (industri) dan pelindung hukum. Tidak integralnya pemahaman yang ada di dalam masyarakat, menyebabkan tersendatnya sistem HKI dan menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Tidak bekerjanya sistem hukum (pengaturan) mengenai HaKI adalah akibat kompleksnya permasalahan yang ada dalam masyarakat, yang antara lain disebabkan karena: Pertama, penegakan hukum - Sebagai salah satu penyebab maraknya pembajakan VCD adalah kurang tegasnya aparat hukum dalam menangani pelanggaran yang terjadi.
Rendahnya hukuman yang diberikan kepada pelanggar Hak akan Kekayaan Intelektual menandakan penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran juga merupakan faktor utama lemahnya penegakan hukum di bidang HaKI. Selama ini penegakan hukum atas pembajakan VCD yang terjadi hanyalah upon request dan Cuma sporadic saja. Hal ini menunjukkan tidak adanya goodwill pemerintah. Begitu maraknya penjualan VCD bajakan, bahkan terkadang dilakukan di depan hidung aparat, tentunya hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Penegakan hukum di bidang hak cipta harus dilakukan secara serius dan efektif. Pelanggaran HaKI ini merupakan delik biasa, namun saat ini jelas ada sikap permisif atau bahkan imunity kalangan penegak hukum atas pelaku pelanggaran HaKI.
Sikap yang paling berkompeten di bidang penegakan hukum atas HaKI di Indonesia sampai saat ini masih sering terjadi saling lempar tanggung jawab. Polisi misalnya sering dihadapkan pada kondisi dimana si pelaku pelanggaran HaKI justru memiliki izin untuk menjalankan usaha menggandakan VCD. Namun karena order sangat kurang, mereka menggandakan juga VCD secara illegal. Untuk itu polisi meminta Depperindag melakukan pengawasan terhadap izin usaha yang telah dikeluarkan, sementara Depperindag sendiri tidak bisa memenuhi permintaan polisi karena tidak mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan atau penyelidikan. Penyebab lainnya yaitu kadar pengetahuan dan jumlah aparat penegak hukum di bidang HaKI masih belum memadai.
Masih sedikit anggota Polri yang memiliki pengetahuan dan memahami tentang HaKI dan dengan keterbatasan itu memungkinkan terjadinya “main mata” antara penegak hukum dan pelanggar HaKI. Penegakan hukum di bidang HKI tidak dapat hanya tergantung pada satu pihak saja. Sebagai satu kesatuan kerja, seluruh instansi terkait turut bertanggung jawab dan memberikan dukungan yang optimal sehingga penegakan hukum di bidang HaKI ini menjadi efektif. Kedua, kesadaran masyarakat - Kesadaran hukum masyarakat Indonesia terhadap Hak akan Kekayaan Intelektual masih belum maksimal, dalam arti banyak kerugian yang ditimbulkan karena masyarakat sendiri sebenarnya belum banyak yang memahami bagaimana sistem HaKI berjalan. Sebagai contoh misalnya dalam prosedur pendaftaran, prinsip pendaftaran suatu karya intelektual adalah first to file (siapa yang mengajukan pertama kali dialah mendapatkan perlindungan), masyarakat belum mengetahui benar mengenai hal ini.
Di samping itu juga bahwa hasil karya intelektual harus didaftarkan untuk kemudian diumumkan, sehingga orang lain akan mengetahuinya. Tidak jarang pemohon suatu karya intelektual ditolak karena karya tersebut tidak memiliki nilai orsinil, dan tidak jarang pencipta kehilangan haknya karena terlambat mendaftarkan hasil karyanya itu. Oleh karenanya masyarakat harus diberikan pemahaman sedemikian rupa agar menyadari hak dan kewajibannya. Pemahaman disini termasuk di dalamnya penegakan hukumdan perlindungan hukum yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Pemberian pemahaman kepada masyarakat ini dapat dilakukan melalui sosialisasi dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan dalam berbagai bentuk.
Dengan sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memahami masalah perlindungan dan penegakan hukum di bidang HaKI, sehingga diharapkan akan tercipta suatu kerjasama antara masyarakat, pemerintah serta industri dan diharapkan juga suatu saat nanti tidak terjadi lagi pembajakan dan pelanggaran lainnya. Ketiga, keadaan ekonomi - Terpuruknya situasi ekonomi yang buruk yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini, secara tidak langsung telah ikut mendorong terjadinya pelanggaran terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual. Lesunya kegiatan ekonomi menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan serta meningkatkan pengangguran. Akibatnya, keadaan ini dijadikan alasan untuk menghalalkan kegiatan baik berupa pembajakan maupun pemasaran dari VCD itu. Aparat penegak hukum sering kali dihadapi pada keadaan dimana tindakan pelaku pelanggaran Hak Cipta dilakukan semata-mata hanya untuk menghidupi keluarganya.
Hal semacam ini membuat ragu bagi para aparat untuk melakukan tindakan yang tegas. Situasi ekonomi seperti ini juga menyebabkan timbulnya “dilema pasar”, dimana secara ekonomis, konsumen akan selalu mencuri barang yang paling murah. Dilema pasar ini bila dihadapkan dengan keadaan ekonomi masyarakat yang sedang lemah akan mendorong masyarakat untuk tidak menghiraukan lagi apakah barang yang dibeli itu asli atau bajakan. Bagi mereka membeli VCD bajakan sudah menjadi hal yang biasa, dan mereka dapat melakukannya dengan bebas tanpa rasa takut, rasa bersalah ataupun rasa malu lagi. Dan ketika itulah sebagian orang ada yang berpikiran buruk dengan niat meraup keuntungan secara mudah lewat cara yang tidak jujur. Memang sejumlah Undang-undang di bidang HaKI sudah dirampungkan. Misal UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Bahkan ketentuan bidang HaKI pun diperkuat UU No. 30, 31, 32 Tahun 2000 masing-masing tentang Rahasia Dagang, Desain Industri, dan Sirkuit Terpadu. Sangat disayangkan bila upaya serius pemerintah jadi kurang bermakna karena penegakan hukumnya tak dapat dipertanggungjawabkan. Kita sering mendengar polisi menggerebek pelaku kejahatan HaKI, berapa banyak kasusnya yang ke Pengadilan, Seberapa berat hukuman yang dijatuhkan hakim baik pidana maupun perdata, Peran Hakim dan lembaga peradilan tak kalah penting dalam menegakkan perundang-undangan HaKI. Para pelaku dalam kejahatan HaKI sebaiknya diproses optimal di persidangan, sehingga jera dan kasus tersebut bisa menjadi contoh baik bagi para calon penjahat yang merencanakan kejahatan HaKI agar mereka berpikir matang tentang konsekuensi hukumannya sebelum bertindak.
Walaupun Indonesia telah memiliki Undang-undang yang melindungi Hak akan Kekayaan Intelektual dan turut menandatangani Perjanjian TRIPs, namun pelaksanaannya masih sangat jauh dari apa yang diharapkan. Sebagai contoh hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya peredaran VCD bajakan, yang merupakan salah satu dari karya intelektual manusia. Begitu maraknya pembajakan VCD di Indonesia mempunyai dampak negatif serta menimbulkan berbagai persoalan seperti citra buruk Indonesia di dunia internasional dan ancaman mendapat sanksi dari dunia internasional, menurunnya semangat berkreasi dari kalangan dunia seni, serta tidak kalah pentingnya merosotnya moral masyarakat yang disebabkan tidak adanya sensor dari VCD bajakan yang beredar. Lemahnya upaya penegakan hukum di bidang HaKI, kesadaran masyarakat yang masih sangat kurang dan keadaan ekonomi yang sulit yang tengah dihadapi bangsa ini, merupakan sebagian kendala yang dihadapi dalam upaya penegakan sistem HaKI di Indonesia. Banyak kalanganmenilai bahwa hukum yang berlaku di Indonesia belum mampu untuk meminimalisasi terjadinya tindakan-tindakan illegal dan melanggar hukum yang dilakukan oleh para kriminal, walaupun sebenarnya perangkat hukum yang dilakukan oleh para kriminal, walaupun sebenarnya perangkat hukum yang ada sudah memadai, tetapi ketegasan dan motivasi yang kuat dari pemerintah maupun aparat keamanan penegak hukum masih dinilai sangat minim untuk mencegah terjadinya kejahatan atas pelanggaran Hak Cipta, khususnya pembajakan VCD.
Dengan demikian, penulis menyarankan hakim-hakim yang menagani perkara-perkara HaKI di Pengadilan Niaga sekarang ini, mempunyai keberanian untuk melakukan pembaruan hukum melalui putusan-putusannya. Guna mencegah atau meminimalisasi terjadinya tindakan pelanggaran hak cipta khususnya VCD, Pemerintah melalui aparat keamanan dan atau penegak hukum harus bersama-sama dengan penuh ketegasan menjalankan ketentuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan perangkat hukum yang telah ada, menindak tegas pelaku-pelaku dengan hukuman yang berat, sehingga mereka tidak akan melakukannya lagi. Begitu pula dengan peraturan di bidang HaKI perlu adanya upaya dari semua pihak baik dari aparat penegak hukum, kalangan industri, insan seni maupun masyarakat untuk bersama-sama menegakkan hukum secara Sungguh-sungguh. Situasi ekonomi yang terpuruk tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan pembenaran terhadap tindakan pembajakan VCD. Karenanya perlu diberikan kesadaran kepada masyarakat mengenai penegakandan perlindungan hukum di bidang HaKI.
Guna memerangi pembajakan VCD juga dapat dimulai dari masyarakat itu sendiri, salah satunya dengan cara memboikot produk bajakan. Karenanya disarankan kepada seluruh masyarakat untuk tidak membeli VCD bajakan dan memberikan informasi kepada aparat jika ada tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh segelintir orang, karena masyarakat juga mempunyai tanggung jawab moril terhadap pengamanan dan kelestarian kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dalam bidang seni.

1 komentar:

  1. terimakasihhh sangat membantu dalam mengerjakan tugas sekolah saya :)

    BalasHapus