Jumat, 16 April 2010

Pendidikan Indonesia, Menuju Momentum Kebangkitan 2009

Jika sekolah sekarang sudah gratis, mengapa masih banyak anak-anak yang mengemis dan mengamen di jalan, Apakah kampanye departemen pendidikan itu hanya sekedar wacana di atas saja untuk memberikan resensi effect bahwa pemerintah telah bekerja sebelum pemilihan umum presiden juli 2009. Mari kita lihat ke belakang, belasan tahun mengenyam pendidikan di Indonesia ternyata belum banyak yang berubah. Banyak persolan serius yang tampaknya masih menunggu untuk ditanggapi dan diselesaikan. Rendahnya mutu pendidikan kita merupakan realitas tak terbantahkan. Rendahnya mutu sekolah contohnya, tampak dari rendahnya jumlah siswa yang lulus dari ujian akhir nasional (UAN) di samping rendahnya mutu lulusan yang hampir terjadi di semua jenjang pendidikan di negeri ini.
UAN yang baru saja lewat beberapa waktu lalu jika kita menilik Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005, UAN adalah indikator kelulusan di Indonesia. Namun banyak yang menilai UAN tak bermanfaat karena hanya mengkondisikan penyelewengan. Beberapa kasus seperti guru membiarkan anak didiknya mencontek, guru mengkoordinir siswanya agar saling bekerjasama dalam UAN, dan berbagai macam pelanggaran banyak sekali terjadi ketika UAN. Hal ini dilakukan semata mata agar anak didik lulus semua dan citra sekolah naik.
Rendahnya kualitas UAN pun banyak yang sangsi. Banyak juga siswa didik yang telah berhasil lolos dalam Ujian Masuk universitas terkemuka tetapi gagal dalam lulus UAN. Di sisi lain, jika dibandingkan dengan Negara tetangga kualitas pendidikan kita masih jauh tertinggal. Jangakan dari segi penguasaan teknologi informasi ataupun bentuk gedung dengan sarana dan prasarana yang lengkap. Di Indonesia, begitu passing grade dinaikan sedikit saja masih banyak juga yang tidak lulus dan protes pun timbul disana sini.
Selain dari rendahnya kualitas, sampai sekarang pun penilaian masih berorientasi hasil, bukan proses. Isinya hafalan, cara cepat membabat soal, dan “ilmu” yang ketika diingat malah makin membuat lupa tanpa penekanan soal pemikiran kritis dan pembentukan sikap mental yang positif. Faktor-faktor penting dalam pendidikan seperti kognitif, psikologis dan afektif banyak yang diabaikan adalah sangat ironis jika dilihat. Indonesia dulu termasuk negara maju di segi pendidikan. Negeri Jiran saja sempat “mengimpor guru” dari Indonesia untuk menjadi tenaga pengajar. Hal itu membuktikan bahwa pendidik Indonesia pada saat itu benar-benar berkualitas.

Pendidikan Indonesia di Kaca Dunia
Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia berada dalam urutan sebagai berikut pada tahun 1997 dari 49 negara yang diteliti Indonesia berada di urutan 39. Pada tahun 1999 dari 47 negara yang di survei Indonesia berada pada urutan 46. Tahun 2002 dari 49 negara Indonesia berada pada urutan 47 dan pada tahun 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan yang ke 53. Yang menarik perlu dilihat adalah pendidikan di negara pembuat ponsel bermerek Nokia.
Finlandia, negeri yang paling tidak korup ini dalam survei yang dilakukan Programme for International Student Assestment (PISA) ternyata berhasil mengalahkan 40 negara lainnya dari segi pendidikan. Bahkan, Finlandia tidak hanya pandai dalam mendidik anak-anak “normal,” tapi juga unggul dalam pendidikan bagi anak-anak yang lemah mental. Finlandia memenangkan survei ini karena metode pendidikannya yang unik. Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu.
Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finlandia yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu. Kunci dari kesuksesan mereka terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran!. Di Negara ini remedial tidak dianggap sebagai kegagalan tapi untuk perbaikan. Orientasi dibuat untuk tujuan-tujuan yang harus dicapai. Penekanan ada di proses, bukan hasil PR, dan ujian tak musti dikerjakan dengan sempurna yang penting murid menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa.
Finlandia sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Di Finlandia, perbedaan antara murid berprestasi baik dan murid yang kurang sangatlah kecil. Kata seorang guru di Finlandia, “Kalau saya gagal dalam mengajar seorang murid, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya!”. Bandingkan dengan Negara kita, banyak yang bangga ketika ada anak didiknya yang tidak lulus.
Greg Mankiw dalam salah satu artikelnya pernah membahas mengenai pendidikan. Beliau mengatakan bahwa setiap tahun bertambahnya lulusan universitas di US akan menyumbangkan tambahan pendapatan 12,9 persen. Walaupun tentu saja pendidikan semata mata bukan untuk uang, akan tetapi jika tujuan hidup hanya untuk kaya, cara terbaik yang bisa kamu lakukan adalah dengan bersekolah. Bagaimana dengan Indonesia.
Indonesia adalah Negara besar dengan potensi yang sangat besar pula. Bila di asumsikan terdapat 1 persen dari jumlah warga negara adalah termasuk golongan jenius, maka seharusnya terdapat 2,2 juta orang berbakat di Indonesia. Namun bagaimana menemukan mereka, mengasah mereka, memberi mereka kesempatan supaya mereka bisa mengembangkan potensinya. Indonesia bagus dalam berbagai bidang seperti fisika, matematika, dan biologi. Banyak berbagai prestasi yang telah ditorehkan sejumlah penerus bangsa. Seperti Farid seorang anak pedagang rokok yang berhasil menjuarai catur dunia. Priyadi yang memenangkan “Google India Code Jam Contest”. Deassy Novita yang menemukan ion motion control di elektrolit. Kesha pemenang olimpiade Fisika. Tim kalingga yang memenangkan world champion dalam business plan di Paris. Namun sangat disayangkan mengapa pemerintah masih belum mengambil banyak tindakan untuk segera menemukan anak berpotensi dan berbakat lainnya.
Hari pendidikan sebentar lagi. Apapun yang ada saat ini, Indonesia harus memiliki impian yang besar. Film Laskar pelangi yang begitu mengilhami banyak orang harusnya dijadikan pelajaran yang berarti bahwa potensi Negara ini begitu besar. Impian itu diharapkan memberi inspirasi, semangat, secerah harapan, dan kepercayaan untuk menjadikan Indonesia lebih baik dari saat ini. Akhirnya seperti kata pepatah, Jika ingin memegang suatu bangsa, peganglah pilarnya, yakni pendidikan. Jika ingin membuat bangsa kita selalu tumbuh, maka perhatikanlah pendidikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar